Kita pasti sudah tidak asing lagi
dengan nama besar seperti Grab dan Gojek.
Dua raksasa startup yang hadir di
Indonesia dengan warna khas hijau itu, kini berstatus sebagai ‘Decacorn’ atau
startup dengan valuasi U$10 Billion (Rp. 140 Triliun memakai kurs U$1=Rp.
10.000,-).
Valuasi itu bahkan sudah mengalahkan Garuda Indonesia,
maskapai penerbangan kebanggaan negeri yang ternyata belum pernah meng-endorse Mimin pergi keluar kota. Ehem.
Kembali,
Jika keduanya punya valuasi
sebesar itu, lalu mengapa mereka harus merger?
Sebelum menjelaskan hal tersebut
lebih jauh ada kalanya kita paham bahwa startup pada umumnya adalah bisnis yang
sarat akan ‘disrupsi’.
Ya, era disrupsi mungkin masih
kedengaran asing bagi masyarakat awam, namun tanpa sadar sehari-hari kita
terbiasa terlibat di dalamnya.
Misalkan, jika kamu hari ini
sempat membaca WA masuk, mengecek postingan terbaru di instagram @BeritaMedan,
hingga membuka video-video lucu di Facebook Watch, sebenarnya kamu sudah
menjadi pengguna dari layanan disrupsi.
Karena seluruh konten yang kamu
konsumsi tersebut berada dalam satu komunitas platform yang sama. Ketiganya
adalah milik Facebook Inc.
Begitupun dengan layanan serupa yang
ada di sekitar kita. Tidak terhitung jumlahnya sudah berapa pasar yang kini
sedang berusaha didisrupsi. Mulai dari transportasi, periklanan, ritel, hingga
pemberitaan.
Itu adalah perlombaan yang nyata
hari-hari ini.
Apa disrupsi itu baik?
Kembali kepada masing-masing
orang.
0 Komentar